Beranda | Artikel
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah Bab 1-3 dan 5
Kamis, 17 Januari 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas

Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Bab 1-3 dan 5 merupakan ceramah agama dan kajian Islam Ilmiah dengan pembahasan masalah ‘aqidah, disampaikan oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas di Radio Rodja dan RodjaTV, pada 15 Sya’ban 1439 H / 01 Mei 2018 M.

Mukaddimah Ceramah Agama Islam Tentang Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Bab 1-3 dan 5

Kajian ‘aqidah membahas sesuatu yang paling asas, yang paling mendasar. Yaitu yang berkaitan tentang keyakinan seorang mukmin kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada Rasul-RasulNya, kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada kitabNya, kepada Arkanul Iman yang enam, Arkanul Islam, masalah-masalah yang baik dan yang lainnya.

Ini wajib diyakini dan kita harus paham. Karena kalau kita tidak paham, bagaimana kita akan melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sebenarnya? Karena keyakinan-keyakinan yang ada di masyarakat, banyak keyakinan-keyakinan yang rusak. Keyakinan yang menyimpang dari ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Keyakinan yang kalau tidak diingatkan dan terus demikian dan mereka mati dalam keadaan syirik, tidak akan diampuni dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lihat juga: Ciri-Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah

Makanya kita mengkaji tentang ‘aqidah ini, meskipun sudah pernah dikaji harus terus diulang. Tidak cukup sekali dua kali, seratus kali, tidak cukup. Ribuan kali!

Kalau kita lihat dakwahnya Nabi Nuh ‘Alaihish Shalatu was Salam, 950 tahun siang dan malam Nabi Nuh mendakwahkan dakwah tauhid. Mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat  لاإله إلاالله, untuk memahami tentang kalimat ini, untuk mengamalkan kalimat ini dan melaksanakan konsekuensi kalimat ini.

Demikian juga para Nabi dan Rasul yang sesudahnya, semuanya demikian. Makanya dakwah ini harus terus dijalankan kepada semua manusia. Kepada orang awam, kepada para pejabat, kepada para penguasa, kepada pengusaha, kepada orang miskin, kepada orang kaya, semuanya dakwahnya sama. Dakwah tauhid, dakwah mengajak orang untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah dakwah yang sebenarnya. Didalam Al-Qur’an, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh Nabi Musa ‘Alaihish Shalatu was Salam datang kepada Firaun. Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimush Shalatu was Salam Allah berfirman dalam surat Thaha:

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut kepada Allah“.” (QS. Tha-ha[20]: 43-44)

Jadi dakwah ini mengajak agar manusia ini takut kepada Allah. Kalimat قَوْلًا لَّيِّنًا, sebagian Mufassirin mengartikan dengan “Ucapkan kalimat-kalimat yang menyentuh hati dia.” Sebagai lagi, seperti perkataan ikrimah dan juga yang lainnya artinya “Ajak dia untuk mengucapkan kalimat لاإله إلااللهagar dia ingat kepada Allah dan takut.”

Makanya perlu saya ingatkan kepada seluruh yang hadir, ikhwan dan akhwat semuanya. Perhatikan bahwa kita menuntut ilmu ini agar kita takut kepada Allah, bukan sekedar ngaji, bukan sekedar menuntut ilmu, bukan sekedar hadir dalam pengajian, tapi bagaimana ilmu yang dikaji dalam setiap kajian itu membuat kita takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya Fadhlu Ilmis Salaf. Kata Imam Ahmad, bahwa yang dikatakan ilmu adalah takut kepada Allah. Tujuan kita menuntut ilmu ini bukan untuk kebanggaan, bukan untuk pamer, bukan untuk riya’, bukan untuk mencari dunia, tapi bagaimana kita menuntut ilmu kita takut kepada Allah. Tumbuhkan itu, takut kepada Allah. Dan juga membersihkan hati kita. Nabi Musa disuruh oleh Allah datang kepada Fir’aun dalam surah An-Nazi’at:

فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَىٰ أَن تَزَكَّىٰ ﴿١٨﴾ وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ ﴿١٩﴾

dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” (QS. An-Nazi’at[79]: 19)

Jadi, Nabi Musa mendakwahkan Fir’aun agar bersih hatinya. Tugas Nabi dan Rasul ‘Alaihimush Shalatu was Salam, disamping menyampaikan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga membersihkan hati manusia. Dan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, disamping mengajarkan Qur’an dan Sunnah adalah membersihkan hati manusia. Ini adalah sesuatu yang penting dalam dakwah. Allah menyebutkan tentang nikmat yang paling besar diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah membersihkan hati manusia. Allah menyebutkan dalam surah Ali-Imran surah yang ke-3 ayat 164, Allah berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّـهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali-Imran[3]: 164)

Allah menyebutkan “membersihkan hati manusia”. Makanya ketika kita menuntut ilmu ini, usahakan untuk membersihkan hati kita. Bukan sekedar menuntut ilmu. Bagaimana penyakit-penyakit ego, penyakit sombong, penyakit serakah, penyakit bakhil, penyakit iri dengki itu hilang dari hati kita. Kita harus berusaha untuk membersihkan hati.

Seandainya seseorang ngaji, duduk di majelis ilmu, berapa kitab Antum baca, tapi kalau hati ini tidak bersih, dengki pada orang lain, selalu benci kepada orang, su’udzan, serakah kepada dunia, tidak akan ada manfaatnya pengajian ini.

Yang kedua, membuat kita takut kepada Allah. Bukan, ngaji tapi tetap berbuat maksiat, masih makan riba, masih muamalah yang tidak benar. Makanya kita menuntut ilmu, usahakan bagaimana menuntut ilmu ini dapat membersihkan hati kita, dan menuntut ilmu membuat kita takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pembahasan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Bab 1-3 dan 5

Menit ke-43:39

‘Aqidah tauhid merupakan pegangan yang sangat prinsip dan menentukan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Karena tauhid merupakan pondasi bangunan agama dan menjadi dasar bagi setiap amalan yang dilakukan oleh hambaNya. Tauhid merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul ‘Alaihimush Shalatu was Salam.  Mereka pertama kali memulai dakwahnya dengan tauhid dan tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.

‘Aqidah yang benar adalah perkara yang amat penting dan kewajiban yang paling besar yang harus diketahui oleh setiap Muslim dan Muslimah. Karena sesungguhnya sempurna dan tidaknya suatu amal, diterima atau tidaknya amal tersebut bergantung kepada ‘aqidah yang benar. Kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diperoleh oleh orang-orang yang berpegang pada ‘aqidah yang benar ini dan menjauhkan diri dari hal-hal yang menafikan dan mengurangi kesempurnaan akidah tersebut.

‘Aqidah yang benar adalah ‘aqidah al-Firqatun Najiyah (golongan yangselamat), ‘aqidah Ath-Tha-‘ifatul Manshurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), ‘aqidah Salaf, ‘aqidah Ahlul Hadits, ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Islam yang Allah karuniakan kepada kita, yang harus kita pelajari, pahami, dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Sahabat (Salafush Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in yang merupakan aplikasi langsung dari apa yang diajarkan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan ‘aqidah serta manhaj mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya jalan kebenaran menuju kepada Allah hanya satu, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Iftiraqul Ummah (tentang perpecahan umat):

اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: اَلْجَمَاعَةُ

“Umat Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Umat Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tanganNya, sungguh akan berpecah-belah umatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, Al-Jama’ah.” (HR Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim, Al-Lalikai, hadits ini hasan. Silakan lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1492.)

Disini disebutkan bahwa Yahudi yang masuk surga satu, yaitu yang mengikuti Nabi Musa ‘Alaihissalam. Yang mereka beriman kepada Allah, beriman kepada Nabi Musa dan mati dalam keadaan iman. Begitu juga umat Nasrani. Satu yang masuk surga itu adalah yang beriman kepada Allah dan iman kepada Nabi Isa sebagai hamba dan RasulNya dan mati dalam Islam.

Adapun umat Islam, Nabi menyebutkan berpecah menjadi 73 golongan, satu yang masuk surga. Dari yang 73 ini, pokoknya ada empat. Kata para ulama, khawarij, syiah, qadariyah, murji’ah. Kemudian mereka berpecah lagi.

Yang pertama kali, khawarij. Mereka yang pertama kali memberontak kepada Utsman dan membunuh Utsman Radhiyallahu ‘Anhu. Kemudian juga memberontak kepada Ali bin Abi Thalib dan membunuh Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Kemudian syiah, kemudian qodariyah, kemudian murji’ah. Ini semuanya sesat. Dan nanti berpecah lagi. Termasuk yang sekarang ini kalau kita lihat banyak kelompok-kelompok takfiri yang gampang-gampang mengkafirkan orang muslim, yang gampang-gampang mengkafirkan penguasa, takfiri ini mengikuti khawarij. Atau ada ISIS, mereka mengikuti khawarij. Belum lagi yang lain.

Banyak sekali perpecahan dalam Islam. Tapi Nabi menyebutkan hanya satu yang selamat. Ini yang wajib kita ikut, kita pelajari, kita kaji, tentang ‘aqidah yang satu ini. Yaitu Al-Jama’ah. Yang Al-Jama’ah, dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jalan menuju kepada Allah hanya satu. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya. Ini yang kita kaji. Karena para Nabi dan Rasul ‘Alaihimush Shalatu was Salam mengajak umatnya untuk mentauhidkan Allah. Jadi, pertama kali yang harus diluruskan dan diperbaiki adalah ‘aqidah dan manhaj umat Islam dalam meyakini dan melaksanakan agama Islam.

Apa yang dikatakan Manhaj?

Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan oleh seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya, inilah ‘aqidah.”

Kerusakan ditengah-tengah umat Islam sangatlah banyak. Dalam masalah politik, dalam masalah ekonomi, dalam masalah ibadah, akhlak, muamalah, ‘aqidah, manhaj. Dari itu semua, yang didahulukan untuk diperbaiki adalah ‘aqidah dan manhaj (cara beragama) umat Islam, bukan pilkada.

Bagaimana cara mereka beragama, itu yang diperbaiki. Karena kalau cara beragama macam-macam, dan banyak mereka campur adukkan yang bukan dari agama dimasukkan kedalam agama. Begitu juga tentang ibadah, mereka masukan yang bid’ah-bid’ah, dan keyakinan dalam kehidupan. Ini harus dibersihkan.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan umat Islam ini dalam keadaan putih bersih. Tidak ada bercak-bercak syirik, tidak ada bercak-bercak kurafat, tidak ada penyimpangan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

“Aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa.” (HR. Ibnu Majah)

Ketika kita lahir, kondisi agama ini sudah campur-aduk, tidak murni lagi. Maka kita harus membersihkan dengan menjelaskan kepada umat, ini yang benar ini yang salah. Tidak bisa menjelaskan yang bener saja. Ada dua perintah Allah didalam Al-Qur’an:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ…

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”,..” (QS. An-Nahl[16]: 36)

Lihatlah ayat di atas, tidak cukup hanya beribadah kepada Allah saja. Tetapi juga harus meninggalkan Thaghut. Juga ketika menyebutkan Amar Ma’ruf, maka lanjutannya adalah Nahi Munkar. Tidak ada Amar Ma’ruf berdiri sendiri. Maka dua-duanya harus berjalan.

Karena ketika kita membahas hal ini, tentang kesalahan-kesalahan, menjelaskan agama ini agar diamalkan oleh manusia dengan benar. Kalau hal ini tidak dijelaskan, orang tidak tahu tentang kesyirikan.

Dalam kalimat لاإله إلاالله, disini ada dua rukun. Yaitu nafi dan itsbat. Artinya kita wajib mengingkari semua yang disembah selain Allah dan kita wajib menetapkan ibadah kepada Allah. Maka dari itu Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam sebagai imamnya orang-orang yang hanif, mengatakan kepada bapaknya dan kepada kaumnya secara langsung. Berlepas diri dan menolak semua yang disembah kepada selain Allah.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ ﴿٢٦﴾ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ ﴿٢٧﴾

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”.” (QS. Az-Zukruf[43]: 26-27)

Pada ayat ini Nabi Ibrahim mengingkari, menolak, menyalahkan perbuatan mereka yang menyembah kepada selain Allah. Maka Allah katakan:

وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٢٨﴾

Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.“(QS. Az-Zukruf[43]: 28)

Maka didalam dakwah, disamping mengajak orang kepada tauhid, kita juga wajib menjelaskan kepada mereka tentang hal-hal yang menyimpang dari tauhid. Makanya adalah ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kalau ada orang dakwah ‘Amar Ma’ruf saja, maka ini adalah dakwah yang salah. Harus ada Nahi Munkar. Dan justru yang paling besar ganjarannya disisi Allah adalah Nahi Munkar (mengingkari kemungkaran). Seperti kita menjelaskan orang yang berbuat syirik, orang datang kepada dukun lalu kita jelaskan. Ini adalah bentuk pengingkaran yang kita sampaikan dan mudah-mudahan mereka mendengarnya, sadar dan taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengingkaran adalah yang paling besar ganjarannya. Sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengtakan:

إِنَّ مِنْ أُمَّتِي قَوْمًا يُعْطَوْنَ مِثْلَ أُجُورِ أَوَّلِهِمْ يُنْكِرُونَ الْمُنْكَرَ

“Sesungguhnya ada satu kaum yang diberikan ganjaran oleh Allah seperti generasi pertama dikarenakan mereka mengingkari kemungkaran” (HR. Ahmad)

Maka dari itu, dakwah ini disamping menjelaskan ‘aqidah dan manhaj, juga menjelaskan tentang penyimpangan-penyimpangan ‘aqidah dan manhaj yang menyimpang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّـهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ﴿٣٦﴾

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl[16]: 36)

Di ayat ini Allah menyebutkan bahwa dakwah para Nabi dan Rasul ‘Alaihimush Shalatu was Salam memiliki dua rukun. Yaitu mengajak orang untuk beribadah kepada Allah, mentauhidkan Allah, mengajak kepada ‘aqidah yang benar, mengajak kepada pemahaman yang benar, mengajak kepada manhaj yang benar, mengajak manusia kepada Al-Qur’an dan Sunnah pada ‘Ala Fahmi Salaf. Karena tujuan Allah menciptakan makhluk ini adalah untuk beribadah kepada Allah, artinya mentauhidkan Allah.

Kemudian setelah itu rukun yang kedua adalah untuk meninggalkan semua Thaghut (apa-apa yang disembah oleh manusia selain Allah). Orang menyembah kubur, menyembah batu, pohon, jimat, keris, burung, dan yang lainnya. Atau orang menyembah atasannya. Atasannya dijadikan sebagai tuhan.

Ini semua harus diingatkan. Kalau mati dalam keadaan syirik, kufur kepada Allah. Kalau tidak tidak diingatkan tidak akan tahu. Atasan, sama semuanya. Kita wajib mentaati tapi tidak boleh taat dalam berbuat maksiat kepada Allah.

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan untuk makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Pencipta.”

Sedangkan yang terjadi sekarang, atasan dianggap segala-galanya, takut kepada atasan. Padahal seharusnya seseorang takut kepada Allah dan harapnya kepada Allah. Bukan kepada manusia. Manusia tidak memiliki apa-apa. Manusia tidak mempunyai neraka, manusia tidak mempunyai surga. Manusia tidak mempunyai pahala, manusia tidak mempunyai ganjaran. Manusia tidak bisa memberikan hidayah, yang bisa memberikan hidayah hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang bisa memberikan rezeki hanya Allah, manusia tidak. Kita tidak kerja ditempat itu, tidak ada masalah. Masih banyak lapangan pekerjaan. Tapi menjadikan atasan sebagai Tuhan, itu terjadi. Hal ini tidak boleh dalam Islam. Padahal dia hanya mengharapkan gaji yang tidak seberapa.

Seorang atasan wajib untuk kita hormati, aturannya dilaksanakan, tapi tidak boleh melanggar syariat Allah. Tidak boleh untuk berbuat dosa dan maksiat kepada Allah.

Bab 1 Pengertian ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquwwah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

Jadi, ‘aqidah lebih luas. Ada juga sering dibahas tentang tauhid. Bedanya, pembahasan tauhid berkaitan tentang rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat. Aqidah merupakan yang pertama untuk dikaji.

Tauhid termasuk ‘aqidah, bahkan ini pokok dari ‘aqidah. Dan tidak akan tegak ‘aqidah tanpa tauhid. Ini berkaitan dengan Allah, berkaitan dengan uluhiyyah, rububiyyah dan asma wa sifat. Tauhid lebih khusus daripada ‘aqidah. Dan ‘aqidah lebih umum dari pada tauhid.

Pembahasan ‘aqidah mencakup semuanya, tentang iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul-rasulNya, kepada hari akhir, kepada qadha dan qadar, lebih luas kajian tentang ‘aqidah. Kalau tauhid lebih khusus.

Tauhid dibagi oleh para ulama menjadi tiga. Rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat. Pembagian ini bukan sesuatu yang baru. Tapi untuk memudahkan. Dan Allah menyebutkan tentang tiga macam ini dalam Al-Qur’an surat Maryam:

رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا ﴿٦٥﴾

Allah yang memiliki langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam[19]: 65)

Pada ayat ini رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا berkaitan dengan tauhid rububiyyah, فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ berkaitan dengan tauhid uluhiyyah, هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا berkaitan dengan tauhid asma wa sifat.

Jadi pembagian tauhid ini untuk memudahkan, untuk penjelasan, bukan penambahan yang baru dalam agama, bukan juga ibadah. Artinya manamakan untuk memudahkan kita memahami.

Terkadang ada orang-orang yang hidupnya memang penuh dengan penyimpangan. Lalu dicari kesalahan salaf. Mereka ingin agar salaf juga ada salahnya. Padahal ini bukan ibadah. Sekedar penjelasan untuk bisa difahami dan memudahkan.

Simak penjelasannya pada menit ke-1:09:23

Dengarkan dan Download MP3 Kajian Tentang Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Bab 1-3 dan 5


Jangan lupa untuk membagikan link download kajian ini melalui Facebook, Twitter, dan Google+ atau yang lainnya. Jazakumullahu khoiron.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv

Pencarian: kajian ahlus sunnah wal jama’ah, ulama ahlus sunnah wal jama’ah, kitab ahlus sunnah wal jama’ah, kitab tauhid ahlus sunnah wal jama’ah, ceramah ahlus sunnah wal jama’ah, artikel ahlus sunnah wal jama’ah, pengertian ahlus sunnah wal jama’ah, salafi ahlus sunnah wal jama’ah, dakwah ahlus sunnah wal jama’ah, tulisan arab ahlus sunnah wal jama’ah, risalah ahlus sunnah wal jama’ah, sejarah ahlus sunnah wal jama’ah, ponpes ahlus sunnah wal jama’ah, kitab risalah ahlus sunnah wal jama’ah, buku aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, ahlus sunnah wal jama’ah adalah, arti ahlus sunnah wal jama’ah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46432-syarah-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah/